Langsung ke konten utama

Alam Menuntun untuk Kembali























Kupandang dengan jelas melalui jendela kaca yang bisu ini. Jendela bisu yang bicara. Ia bicarakan tentang ciptaan Tuhan yang tak pernah berbatas untuk dikagumi. Ia sampaikan pesan kekagumannya kepada mata yang memandang dengan membiarkan cahaya melintasi dirinya.

Langit pun. Ia menari dalam perjalanannya. Bersama ribuan burung yang turut meramaikan dirinya. Kecantikan langit berhiaskan awan putih serta luas dirinya yang tiada mampu mata memberi batas membuatku kembali lagi merasa kecil.
Pohon-pohon hijau itu. Ia selalu berdiri tegar di sana. Seperti kesabarannya tak pernah sedikitpun terlewatkan. Ia tumbuh bersama pertambahan waktu, namun ia tak pernah mengeluh. Bahkan seringkali ia membisikkan keteduhan dalam hati manusia yang terkadang tertutup oleh terik kebencian.
Burung-burung yang terbang dengan riangnya. Riang yang tak bisa ku jelaskan mengapa dan bagaimana. Ia terus saja bahagia walaupun entah hatinya bisa saja dalam kesedihan. Mereka tetap menampakkan diri dengan segala syukur atas hidupnya. Sedangkan diriku seringkali mengandaikan untuk mampu mengepakkan sayap sepertinya padahal tak mengerti perjuangan dalam hidupnya.
Percayalah. Apapun dan bagaimanapun dunia berkata, dunia berubah, mereka adalah makhluk makhluk yang selalu memanjatkan tasbih kepada Tuhannya. Mereka tak sedikitpun putus asa atas yang dikehendakkan kepadanya. Mereka justru menebar kebaikan, mengajarkan kepada siapa saja untuk selalu bahagia, bersabar, dan bersyukur. Pemberian mereka itulah memunculkan doa doa baik untuknya hingga terwujud pula apa yang disemogakan kepada mereka. Tuhan dekat kepada siapapun yang yakin akan itu. Kata jauh bukanlah karena Tuhan yang menjauh, melainkan diri kita sendiri yang melangkah pergi. Kembalilah. Tuhan pasti menerima kita untum dekat kembali kepada-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Notes #1

  Adakah yang lebih sendu dari malam temaram yang kau nikmati bersama gugusan bintang? Tanpa secangkir kopi. Sendu yang dingin karena angin menertawai kehampaanmu. Melihat bayang-bayang gerak benda yang senada dengan lagu yang kau putar sekarang. Lagu sendu pula. Dirimu yg diliputi perasaan sedih tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Kau menatap langit yang tak kunjung menjelaskan kepadamu. Tapi setidaknya kau tahu cahaya lembut rembulan mengisyaratkan kau untuk tetap tenang. Tanpa lagi merasa risau. Pejamkanlah matamu dan melayanglah menujunya. 06/09/2017 nazifaal_amin Pict source: https://themighty.com/wp-content/uploads/2016/11/ThinkstockPhotos-503458062-640x213.jpg?v=1478201713

Sulung

Sulung atau ‘mbarep’ adalah sebutan untuk anak pertama. Pasti ada jutaan sulung di luar sana. Aku, salah satunya. Sulung selalu dianggap menampung. Menampung kisah keluarga dari titik nol hingga sepuluh. Menampung keluh sebagai telinga terdekat dari orang tua. Menampung ‘tudingan’ kesalahan-kesalahan kecil adik-adiknya. Menampung tanggung jawab paling besar. Menampung kepercayaan paling utama. Bahkan, hingga menampung tangisnya sendiri, agar tidak disangka lemah oleh adik-adik yang berlindung kepadanya.  Aku sendiri pernah iri. Iri dengan adik yang selalu menerima semua inginnya. Iri karena harus mengalah. Iri karena menjadi sulung harus lebih mengerti. Iri, mengapa yang lain tidak. Tapi semua itu hanya selebat pikiran di masa kecil. Di saat sulung belum menemukan jati dirinya.  Di saat aku mulai menyadari, memahami, belajar, kemudian justru aku merasa paling bahagia menjadi sulung. Atas kehadiran dua orang adik yang sering menyebalkan tapi begitu menyentuh ketika di suatu wak...

Ter- olehmu

Tertegun. Tersanjung. Tersenyum. Terbuai. Tersipu. Terhanyut. Terbiasa. Terdiam. Terantuk. Teraduh. Terpeleset. Tersungkur. Terjebak. Tertepikan. Tersisihkan. Tertinggalkan. Terhindarkan. Terasingkan. Tergantikan. Terlupakan. dan aku kini: Tertawa (pic source: pinterest)